Kemarin, seperti biasa aku ngajar di Starbucks. Seperti biasa pula, saya dan Aruna mengambil tempat di sofa tengah dekat counter. Biasa saja awalnya. Anak sekolahan yang baru pulang itu sedang nongkrong dengan teman-temannya. Dua siswa SMA asing dari Thailand atau Vietnam sedang asik mengulik lirik lagunya Eminem. Beberapa pekerja sedang rehat ngopi sambil berkutat dengan laptopnya. Dua orang ibu-ibu membawa bayi seumuran dengan Aruna sedang mengobrol di sofa sebelah. Sama seperti setiap kali saya ke sana.
Hanya saja, yang menjadi berbeda adalah ketika di akhir jam ngajar, tepat saat murid saya hendak pulang, saya melihay ada sepasang suami istri memarkir sepeda usangnya lalu masuk ke dalam kafe. Istrinya sedikit berdandan, suaminya nampak sedikit berdandan juga. Sepertinya mereka meniatkan diri pergi ke kafe. Nampak dari pakaian yang mereka kenakan, mereka bukan tipikal orang Jepang yang berada. Saya taksir umurnya mungkin masih di pertengahan 40-an. Atau awal 50. Keduanya orang Jepang, keduanya berkulit gelap mengkilat khas terbakar matahari setiap hari, bukan hanya saat musim panas.
Dengan canggung keduanya memesan es kopi. Saya perhatikan diam-diam, sepertinya memang keduanya jarang sekali pergi ke cafe seperti ini. Setelah membayar, mereka menuju ke kursi di belakang saya. Tepatnya di dekat pintu menuju ke arah toilet. Sembari menunggu minumannya jadi, si suami melihat sekeliling dengan takjub. Istrinya membuka handphone flip. Di jaman ini, untuk ukuran orang muda seumuran mereka, punya handphone flip itu sudah membuktikan bahwa keadaan ekonomi mereka di bawah rata-rata.
Minumannya selesai, sang suami mengambilnya, lalu memberikannya kepada istrinya. Bersama dengan cinnamon roll yang sudah dipanaskan oleh mbak petugas kafenya. Saya masih memperhatian diam-diam, sembari pura-pura mengecek hape. Sang istri bilang minuman dan kuenya lezat. Lalu berterima kasih pada suaminya karena sudah mengajaknya ke Starbucks. Entah kenapa hati saya mak dheg. Dalam keterbatasan mereka, cinta itu tumbuh dengan sangat sederhana.
Kafe selevel Starbucks di Jepang itu termasuk kafe murah. Buat saya murah. Saya, sebagaimana saya posisikan dengan level keuangan menengah turun bawah sedikit. Tapi ternyata, bagi suami istri itu termasuk mewah. Saya tahan air mata saya, tidak enak kalau dikira saya kenapa-kenapa, lagipula, bapaknya Aruna sudah nampak sedang berjalan menuju ke dalam kafe.
Sebelum saya pergi, saya pandangi sejenak sepasang suami istri itu. Lalu saya tersenyum tanpa mereka sadar kalau saya sedang tersenyum padanya. Satu doa kecil terpanjat untuk mereka, Tuhan, tolong jagalah cinta keduanya, dan kalau Engkau berbaik hati, tolong berikan rejeki yang lebih lagi untuk keduanya. Saya nggak tahan, Tuhan, dengan pemandangan itu. Rasanya tertampar karena saya rupanya masih sering kufur nikmat. Tapi, terima kasih Tuhan atas pemandangan itu. Terima kasih karena telah mengingatkan bahwa hidup saya saat ini sudha cukup dan Engkau cukupkan rejeki kami.
EmoticonEmoticon