Semenjak Ai pindah ke kota ini, Ai sering bertanya kepada tetangga sekitar tentang rekomendasi makanan apa yang patut Ai coba. Berkali-kali juga mereka merekomendasikan satu toko kue yang lokasinya cuma selemparan batu dari rumah. Toko roti itu sangat terkenal, katanya. Sampai-sampai diliput TV lokal kota dan TV lokal kota besar tetangga, sebut saja Tokyo. Katanya, roti buatan toko ini sangat lezat dan paling enak di kota ini.
Karena penasaran, Ai dan suami lalu menyambangi tokonya. Membeli beberapa macam roti buatannya. Lalu, apa kata kami? Ternyata rotinya kurang enak di lidah kami. Teksturnya sangat keras dan hampir tidak bisa digigit oleh gigi 30 tahun kami. Bahkan, roti kacang walnut kesukaan suami yang biasa beli di toko roti di Gifu saja suami sampai memuntahkannya karena saking kerasnya digigit. Kami berpikir, mungkin bukan ini yang menjadi favorit.
Masih belum kapok, kami kembali ke toko tersebut dan memilih beberapa macam roti yang berbeda dari sebelumnya. Kami mencoba apa yang menjadi penjualan paling laris di toko itu, yaitu croissant. Lalu, apa kata kami? Ternyata, kami juga tidak menyukai croissant buatan toko ini. Croissantnya terlalu alot dan melawan ketika digigit, seperti makan daging rendang yang berotot. Ditambah, butter yang digunakan sepertinya sudah lama sehingga baunya apek. Saya tidak pernah mencium bau butter seapek itu digunakan di sebuah roti.
Croissant |
Kami sangat kecewa. Tapi, tentu saja, ada setidaknya 4 macam roti yang menurut kami lezat, meskipun keempatnya bukan merupakan penjualan terlaris. Lalu kami menengok sejenak ke belakang ketika masih tinggal di Gifu. Rasanya, roti-roti yang dijual di banyak toko roti sekitaran Gifu ini jauh masih lebih diterima oleh lidah kami dibanding di sini. Tapi suami berpikir lain, dia bilang, mari kita coba toko roti yang lain, mungkin saja bisa menemukan hidden gem.
Lalu, selama satu tahun ini kami berkeliling dari satu toko ke toko lain. Ya, kami menemukan beberapa jenis roti favorit di tiap toko per toko. Tapi, kami kembali dengan satu kesimpulan, ternyata, memang toko roti di dekat rumah itu masih lebih baik daripada toko roti lain di sekitaran. Kami tertawa berdua ketika membahasnya. Pantas saja, toko roti itu dibilang paling enak dan selalu laris dikunjungi warga.
Pelajaran yang kami ambil adalah, mungkin saja karena kami sudah terbiasa memakan roti dengan kualitas yang enak di lidah kami selama kami tinggal 10 tahun di Gifu, sehingga ketika pindah ke tempat baru, kami merasa asing dengan rasa baru yang tersaji. Bisa jadi, jika kami tinggal sejak awal di Tsukuba ini, mungkin kami akan menilai bahwa toko roti dekat rumah ini juga adalah toko roti yang paling enak. Dan sebaliknya, ketika pindah di Gifu, mungkin kami juga malah menilai bahwa toko roti di seputaran Gifu kurang enak.
Ternyata, semua ini hanya persoal perspektif saja, ya. Dan lidah juga punya perspektifnya sendiri. Apa yang kita selalu dapatkan akan terasa paling tinggi nilainya dibanding dengan hal baru yang ada di depan mata. Penilaian kita akan berubah, ketika kita sudah terbiasa dengan hal baru tersebut. Yah, namanya juga manusia, sukanya selalu ada di zona nyaman.
Begitulah cerita Ai mengenai toko roti dekat rumah. Terima kasih sudah menyempatkan diri membacanya.
EmoticonEmoticon