Minggu lalu, saya ada presentasi. Oleh karena itu, saya berangkat ke sekolahan siang hari. Office sensei hari ini tidak masuk, oleh karena itu, saya mau tidak mau harus mengurus anak-anak sendiri. Dan hari kamis, kelas saya cukup besar, ada 11 orang di tiap kelas. Dan benarlah di kelas pertama saya mendapati 2 anak menangis. Terlepas dari itu, kelas pertama berjalan dengan lancar.
Kelas kedua, saya harus berhadapan dengan seorang anak yang pergerakannya sedikit lambat dari yang lain, dan dua orang anak dari kelas paling kecil. Hari itu, saya iseng bertanya kepada H chan, salah satu murid saya, apakah dia duka dengan O kun, murid lainnya. H chan bilang bahwa dia sangat menyukai Oushin karena mereka selalu bermain bersama. Kemudian saya bertanya balik ke O tentang H chan. O bilang, dia juga menyukai H chan. Kemudian saya bertanya pada A chan, siapa teman yang paling disukainya. Kemudian, A chan menjawab bahwa dia menyukai K chan. Lantas, tiba-tiba saja K chan bilang bahwa dia tidak menyukai A. Lalu, raut muka A menjadi sedih. Kemudian saya harus menenangkan mereka berdua. Duh, sungguh saya tidak akan bertanya lagi seperti itu.
Namun, hal ini menggelitik saya. Saat kelas berakhir, saya iseng lagi bertanya pada A apakah dia masih mau bermain dengan K setelah ini. A bilang, masih. Saya bertanya, kenapa? A bilang, "Karena K chan itu temanku."
Di hari yang sama pula, aku mendapati anak-anak kelas 2 SD, S kun dan R kun yang menangis. Perkaranya adalah bahwa S itu anak yang masih mempunyai masalah dengan kegelisahannya menghadapi tekanan. Sedikit saja saya beri dia tekanan, seperti "S, ini warna apa?", dan dia tidak bisa menjawab, maka dia akan menangis segera. Hari itu, kelas agak ramai, karena saya bilang minggu depan akan ada test untuk Opposite Cards. Ketika saya bilang siapa yang ingin mencoba tes, saya sengaja tidak menyebut nama S, melainkan S2 dan R yang memang ingin mencoba, meskipun mereka masih belum sempurna dalam menyebutkan nama-nama kartunya.
S terlihat stress. Dia gelisah dan sedikit menangis. Melihat S memegang kepalanya sambil bergumam gelisah, R bertanya "kamu gapapa?". Tapi tanggapan S, dia malah marah dengan R. Saya bilang ke R, untuk minta maaf kepada S, karena S memalingkan muka dari R. S2 kemudian protes ke saya, bahwa R hanya bertanya "kamu gapapa?" (daijyoubu?). Saya bilang ke S2 bahwa tidak apa2. Karena saya tau, R adalah anak yang ceria, sedangkan S gampang menangis. R pun menurut. Dia berkali-kali minta maaf dan berusaha membuat S tertawa. Namun hati S masih keras. Hingga R menangis. Dan mulai bertanya,
"Salah R apa? Kenapa sensei selalu menyuruh minta maaf ke S, padahal R tidak pernah melakukan salah?"
Kupeluk R seketika dan meminta maaf. Kujelaskan pada R bahwa R tidak ada salah. Hanya saja, S yang masih kurang sabar dalam menghadapi tekanan, membuatku harus mengorbankan R untuk meminta maaf, agar S bisa tenang. R bilang memaafkanku. Lalu, dengan nada sedikit marah, aku berkata pada S, bahwa dia yang seharusnya meminta maaf kepada R karena selalu menyalahkan R untuk hal apapun, meski dia tahu bahwa R tidak berbuat salah.
Alih-alih meminta maaf, S makin marah pada R dan tidak mau meminta maaf. Lantas saya bilang, jika tidak meminta maaf, kalian tidak akan diijinkan pulang. Lalu, S minta ijin bertanya, dia bertanya, jika dia tidak minta maaf ke R, apakah R masih mau main dengannya? Di luar dugaan, R berkata "Iya, masih mau bermain." Aku memuji sikap R, lalu bertanya kenapa. R, dengan badannya yang lebih kecil dari S itu tersenyum lalu berkata "karena kamu temanku".
Tapi dasar S anak keras kepala, dia masih saja tidak mau meminta maaf. Namun, aku memuji sikap R. Terkadang, kita tidak tahu bahwa sikap kita yang kita anggap biasa bisa menyakiti orang lain. Terkadang, ucapan kita yang biasa, bisa membuat orang tertekan. Aku belajar dari ini, bahwa keadaan psikologis setiap orang berbeda. Benarlah bila Rosulullah memperingatkan kita untuk menjaga lisan kita. Karena kita tak pernah tahu, keadaan psikologis lawan bicara kita.
Namun, jika terpaksanya kita telah menyakiti, dan orang itu marah kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Sama seperti yang dilakukan R, tetap kita harus menganggap orang itu teman kita. Karena kita mengerti, keadaan dia seperti apa. Karena kita yang sedang dalam kondisi psikologis baik, maka kita lah yang harus mengalah untuk tetap menjaga silaturahimi dengan yang lain. Sungguh, R telah menyadarkan saya akan pentingnya saling memaafkan, dan menjaga perasaan. Terima kasih R, sensei belajar sesuatu dari R. Semoga besok, S dan R sudah baikan.
Namun, hal ini menggelitik saya. Saat kelas berakhir, saya iseng lagi bertanya pada A apakah dia masih mau bermain dengan K setelah ini. A bilang, masih. Saya bertanya, kenapa? A bilang, "Karena K chan itu temanku."
Di hari yang sama pula, aku mendapati anak-anak kelas 2 SD, S kun dan R kun yang menangis. Perkaranya adalah bahwa S itu anak yang masih mempunyai masalah dengan kegelisahannya menghadapi tekanan. Sedikit saja saya beri dia tekanan, seperti "S, ini warna apa?", dan dia tidak bisa menjawab, maka dia akan menangis segera. Hari itu, kelas agak ramai, karena saya bilang minggu depan akan ada test untuk Opposite Cards. Ketika saya bilang siapa yang ingin mencoba tes, saya sengaja tidak menyebut nama S, melainkan S2 dan R yang memang ingin mencoba, meskipun mereka masih belum sempurna dalam menyebutkan nama-nama kartunya.
S terlihat stress. Dia gelisah dan sedikit menangis. Melihat S memegang kepalanya sambil bergumam gelisah, R bertanya "kamu gapapa?". Tapi tanggapan S, dia malah marah dengan R. Saya bilang ke R, untuk minta maaf kepada S, karena S memalingkan muka dari R. S2 kemudian protes ke saya, bahwa R hanya bertanya "kamu gapapa?" (daijyoubu?). Saya bilang ke S2 bahwa tidak apa2. Karena saya tau, R adalah anak yang ceria, sedangkan S gampang menangis. R pun menurut. Dia berkali-kali minta maaf dan berusaha membuat S tertawa. Namun hati S masih keras. Hingga R menangis. Dan mulai bertanya,
"Salah R apa? Kenapa sensei selalu menyuruh minta maaf ke S, padahal R tidak pernah melakukan salah?"
Kupeluk R seketika dan meminta maaf. Kujelaskan pada R bahwa R tidak ada salah. Hanya saja, S yang masih kurang sabar dalam menghadapi tekanan, membuatku harus mengorbankan R untuk meminta maaf, agar S bisa tenang. R bilang memaafkanku. Lalu, dengan nada sedikit marah, aku berkata pada S, bahwa dia yang seharusnya meminta maaf kepada R karena selalu menyalahkan R untuk hal apapun, meski dia tahu bahwa R tidak berbuat salah.
Alih-alih meminta maaf, S makin marah pada R dan tidak mau meminta maaf. Lantas saya bilang, jika tidak meminta maaf, kalian tidak akan diijinkan pulang. Lalu, S minta ijin bertanya, dia bertanya, jika dia tidak minta maaf ke R, apakah R masih mau main dengannya? Di luar dugaan, R berkata "Iya, masih mau bermain." Aku memuji sikap R, lalu bertanya kenapa. R, dengan badannya yang lebih kecil dari S itu tersenyum lalu berkata "karena kamu temanku".
Tapi dasar S anak keras kepala, dia masih saja tidak mau meminta maaf. Namun, aku memuji sikap R. Terkadang, kita tidak tahu bahwa sikap kita yang kita anggap biasa bisa menyakiti orang lain. Terkadang, ucapan kita yang biasa, bisa membuat orang tertekan. Aku belajar dari ini, bahwa keadaan psikologis setiap orang berbeda. Benarlah bila Rosulullah memperingatkan kita untuk menjaga lisan kita. Karena kita tak pernah tahu, keadaan psikologis lawan bicara kita.
menjaga lisan sumber dari sini |
Namun, jika terpaksanya kita telah menyakiti, dan orang itu marah kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Sama seperti yang dilakukan R, tetap kita harus menganggap orang itu teman kita. Karena kita mengerti, keadaan dia seperti apa. Karena kita yang sedang dalam kondisi psikologis baik, maka kita lah yang harus mengalah untuk tetap menjaga silaturahimi dengan yang lain. Sungguh, R telah menyadarkan saya akan pentingnya saling memaafkan, dan menjaga perasaan. Terima kasih R, sensei belajar sesuatu dari R. Semoga besok, S dan R sudah baikan.
2 comments
Seru banget yah mengamati anak2. Kadang kita malah jadi belajar dari mereka
IYa mbak Indi, anak2 itu masih pure banget jiwanya
EmoticonEmoticon