Seringkali saya bertanya dalam hati ketika menonton dorama Jepang, mengapa orang yang sakit digambarkan dengan orang-orang yang ceria, yang kreatif, yang menyenangkan? Sedangkan di Indonesia, film dan sinetron kita menyajikan orang yang sakit dengan keadaan lemah lesu, sungguh sakit sekali hingga tidak bisa apa2.
Kita coba lihat drama Jepang dari mulai One Little of Tears, bahkan hingga ke Good Doctor pun, orang-orang yang sakit digambarkan sangat ceria. Pertama, saya pikir itu hanya sebuah ilusi penggambaran orang jepang yang tidak mau imej lemah. Namun setelah saya makan bareng Ryouichi-kun minggu lalu, ternyata pikiran saya salah.
Ryouichi-kun, dia masih Nenchu (TK besar). Dia adalah sprinter, pelari andalan kelas Persik. Awalnya kami berbincang pada saat makan, bagaimana Ryo-kun mengkhawatirkan Yuma-kun (anak dari seorang pemain bola profesional Liga Jepang) dari kelas Mawar, dan juga Haruma-kun (murid favorit saya yang nampak seperti anak nakal tapi ternyata sopan sekali) dari kelas Lili. Yuma dan Haruma adalah sprinter yang sangat cepat, saingan berat Ryo yang juga pelari tercepat di kelasnya.
Tidak nampak sama sekali di mata saya setiap harinya bahwa Ryo itu sakit. Sampai kemudian di tengah makan, ibunya datang ke kelas. Dan hari itu saya baru tahu bahwa setiap hari, ibunya harus datang ke kelas. Maklum saja, kami guru bahasa Inggris selalu dioper dari satu kelas ke kelas lain setiap minggunya dan daris ekolahs atu ke sekolah lain, jadi kesempatan untuk berada dalam satu kelas itu hanya satu kali selama satu semester ini.
Saya pikir, ibunya datang karena Ryo ketinggalan sesuatu. namun ketika beliau berlutut dan membuka baju Ryo, kemudian mengeluarkan alat suntik, dan menyintikkan cairan ke perut Ryo, di depan mata saya, saya terbelalak kaget. Saya tanya dengan hati2 ke ibunya Ryo sakit apa, tapi karena bahasa Jepang saya yang masih bego ini, apalagi untuk kata kesehatan, saya kurang paham. Namun yang saya tangkap, ibunya bilang bahwa penyakitnya sudah ada sejak Ryo lahir, dan dia harus disuntik insulin setiap hari.
Saya kemudian melihat Ryo, tidak ada sama sekali tampang orang sakit. Ryo ceria, dan penuh energi setiap kali bermain setelah jam makan siang. Setiap pelajaran bahasa Inggris pun dia selalu ceria dan tidak pernah murung, apalagi ngambek. Ryo ini anak baik.
Lalu saya tanya, Ryo, jika besar kamu nanti mau jadi apa? Dia bilang, ingin jadi pelari andalan Jepang. Saya menahan air mata, kemudian saya bilang, semangat ya. Dia mengangguk dan menghabiskan makanan di mulutnya.
Saya tanya lagi,
"Ryo ga sakit?"
Ryo bilang, "Sakit, sensei, tapi sudah terbiasa."
"Kenapa Ryo terlihat senang? Kan Ryo sakit?"
"Byoki ha byoki de (saya masih kurang bisa memahami kalimat ini), tapi Ryo juga ingin bermain dengan teman-teman. Karena itu Ryo ganbaru. Mama bilang Ryo bisa jadi sprinter yang hebat."
Dari situ saya menyimpulkan bahwa anak-anak memang ditanamkan untuk menjadi kuat meskipun dalam keadaan sakit. Mental kuat seperti itu yang saya sedang butuhkan. Mental kuat yang seperti orang jepang, yang masih bersemangat meskipun dalam keterbatasan.
Yayoi Kusama, beliau punya phobia dengan motif polkadot, namun beliau berhasil membuat ketakutan itu menjadi sebuah karya.
Saya, yang cuma kena Power Harrasment oleh mantan sensei saya ini sudah dendam ga ketulungan. Melihat Ryo ini, saya malu dengan diri saya sendiri. Saya harus bisa bermental kuat seperti Ryo. Saya harus bisa menemukan jalan sukses saya setelah ini.
Terima kasih, Ryo, sudah mengajarkan sensei apa itu yang namanya mental kuat. Sensei mendoakan Ryo menjadi sprinter andalan jepang suatu saat nanti.
Sunday, September 16, 2018
Coretan Pagi Ini: Mental Ketika Sakit
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments so far
Seberapapun dewasanya kita, ternyata pelajaran hidup bisa datang kapanpun dan dari siapapun tanpa mengenal waktu dan umur. Jadi merasa malu karena sering mengeluh padahal tubuh ini diberi keistimewaan karena tidak memiliki kekurangan.
EmoticonEmoticon