I Fall in the Autumn (Part 17)
"A..Adrian???", pekikku dengan suara yang hampir parau karena masih tidak percaya dengan sosok yang ku lihat.
Adrian, bertahun-tahun ini tidak pernah mendengar kabar apapun tentangnya. Sosial media pun dia tidak punya. Alamat email pun aku tidak tahu. Setelah pamit untuk melanjutkan kuliah di Eropa, sudah terputus komunikasi kita. Tiba-tiba, dia ada di depan mata. Aku memang tidak begitu dekat dengan Adrian, bahkan merasa takut. Namun, ketika kami kelas 3 SMA dan dia duduk di sebelah Satria, kami menjadi sedikit lebih dekat.
"A..aku harus telepon Satria dulu", kataku salah tingkah.
"Masuk dulu sini, teleponnya di dalam aja", katanya mempersilakan aku masuk.
Saking gugupnya aku langsung masuk, dan keluar lagi mengambil tas kertas berisi mi instan yang kujatuhkan tadi.
Di dalam rumah Adrian yang begitu rapih untuk ukuran laki-laki ini, aku masih merasa gugup. Baru sekali ini aku mengunjungi tempatnya, padahal kita satu sekolah semenjak SMP. Adrian mempersilakanku duduk di meja yang dia sebut namanya kotatsu atau meja penghangat untuk musim dingin. Dan kami mulai mengobrol tentang banyak hal. Bukan mengobrol, lebih tepatnya tanya jawab. Adrian bertanya, aku menjawab. Bagaimana aku sampai di Jepang, program apa, hingga berapa lama, di lab mana. Semua ditanyakan. Sampai akhirnya dia berkata,
"Em, gantian kamu tanya apa gitu, ini kayak interogasi banget. Udah lama ga ketemu loh, kita", aku merasakan nadanya yang mulai cair, maka aku pun memberanikan diri untuk bertanya tentang dirinya.
Rupanya Adrian melanjutkan kuliah S3 di Jepang. Luar biasa, pikirku. Setelah lulus S1 dari Jerman, dia melanjutkan kuliah S2 di Inggris selama 1 tahun, dan sekarang kuliah S3 di Jepang. Sedangkan aku, baru saja masuk menjadi research student. Tapi, Adrian memang sangat pintar semenjak sekolah dulu. Minggu lalu, dia baru saja pulang ke Jakarta untuk peluncuran program aplikasi baru buatannya untuk perusahaan kecilnya. Aku tak kuasa menahan tatapan kagum padanya. Entah mengapa hari ini aku melihat sisi lain dari Adrian yang lebih hangat dan bersahabat, dibandingkan dengan Adrian yang cool dan penuh tatapan dingin.
"Jadi mau telepon Satria?", tanyanya membuyarkan lamunanku.
Lalu kami menelepon Satria selama satu jam. Satria sangat kaget hingga berteriak ketika wajah kami berdua muncul di layar ponselnya. Dia bilang bahwa dia iri karena bisa berkumpul kembali setelah lulus SMA. Kami menelpon sekitar satu jam, dan selama itu pula aku berada di tempat Adrian. Setelah puas menelepon Satria, Adrian mengajakku untuk berkeliling dan berbelanja. Dia bilang dia ingin menunjukkan tempat-tempat yang setidaknya aku akan pergi kesana jika membutuhkan sesuatu.
Aku kembali ke kamarku sebentar untuk mengambil tas. Lalu kami pergi keliling menggunakan sepeda. Sepanjang jalan itu, kami bercerita tentang banyak hal. Dan ini adalah kali pertama untuk kami saling bercerita satu sama lain. Adrian menunjukkanku banyak hal. Mulai dari supermarket, toko obat, toko kelontong, hingga ke taman di dekat kampus tempat dimana dia selalu merenung mencari inspirasi. Aku menertawakannya ketika dia membawaku ke taman itu. Namun, taman itu memang sangat asri. Adrian bilang, ketika musim semi, sakura di bagian selatan taman mekar dengan indah. Namun jika musim gugur, pohon maple dan ginko di sekeliling taman ini adalah yang terindah dari tempat terdekat lainnya.
"Nanti pas musim gugur, kamu jadi modelku em. Kamu lihat tadi kameraku di atas meja kan? Ku beli mahal tuh, sayang kalau ga ada modelnya,", katanya berkelakar.
"Eh, aku ga cantik, jangan aku donk, yang lain aja,", sanggahku.
"Ya, nanti dari belakang motonya", ujarnya singkat disusul pukulan tasku ke badannya yang membuat dia tertawa keras. Untuk sejenak, aku tertegun melihat Adrian yang tertawa lepas seperti itu. Aku tersenyum melihat dia tertawa.
"Em, kamu tu kalau senyum manis tau.", ucapnya tiba-tiba dengan tatapan mata tajam, yang membuat jantungku berhenti sementara. Karena tidak pernah ada orang lain selain Satria, Deni, Lian dan Edo yang mengatakan seperti itu padaku sebelumnya.
"Kamu mau merayuku biar jadi modelmu secara gratis begitu?", sanggahku disambut dengan tertawanya lagi.
Kami pulang menjelang maghrib, sekitar pukul 7 malam. Aku masih takjub mendapati bahwa hari masih terang ketika mendekati pukul 7 malam. Sebelum masuk ke kamar masing-masing, aku melihat Adrian sempat menatapku lama. Aku sempat salah tingkah sejenak. Namun segera kutepis rasa ini. Aku takut hanya rasa gr saja. Mungkin juga karena dai sudah lama tidak bertemu dengan teman SMA. Dan aku pun juga merasakan hal yang sama. Begitu senangnya bertemu dengan teman lama di tempat yang sangat baru dan jauh ini. Namun, tak bisa kutolak, bahwa aku merasa benar-benar senang hari ini. Seperti tidak pernah kurasakan sebelumnya.
musim gugur bertahun-tahun yang lalu |
EmoticonEmoticon