Hari-hariku seakan penuh kegembiraan setiap kali menyambut Rabu. Karena hari itu aku akan berada pada satu meja dengan Naoki. Aku rasa semakin bertambah kedekatan kita. Hal yang sebelumnya hanya bisa kubayangkan dengan malu-malu, kini menjadi kenyataan di depanku. Menatap Naoki dari dekat dan berbicara dengannya. Namun, ada satu keinginanku dari lubuk hati yang terdalam untuk benar-benar menanyakan kepadanya tentang memori masa kecil itu. Ingatkah dia? Dan semakin aku dekat dengannya, keinginan itu semakin menggebu.
Semakin lama, rasa penasaran ini semakin menyiksaku. Aku tak bisa menahannya lagi. Entah karena aku sedang jatuh cinta, atau karena aku memang sudah tak bisa membendung rasa penasaran ini. Maka kuputuskan untuk mengatakannya setelah ujian praktek biologi ini selesai. Jika pun aku ditolaknya, setidaknya aku tidak akan melihatnya lagi setelah lulus nanti. Pun begitu, setidaknya aku akan lega karena telah mengatakan apa yang selama ini aku pikirkan kepadanya.
Dan hari itu pun tiba. Sedari pagi aku berdebar kencang. Bahkan sejak beberapa hari sebelumnya aku sudah tidak nafsu makan. Kutulis surat untuknya, sengaja kurebus ubi madu yang dulu pernah kuberikan padanya pada saat di barak tepi sawah waktu kecil dulu. Dan hari ini, aku akan mengatakannya. Aku tak peduli lagi. Aku harus mengatakannya.
Kutarik dia ke belakang perpustakaan, di tempat yang memang jarang orang melewatinya. Aku beranikan diri untuk mengatakan padanya tentang perasaanku, tentang cerita lama yang selalu aku simpan sendiri. Kuberikan padanya surat dan sekotak ubi madu bakar. Naoki tersenyum.
" Terima kasih, Emi, atas pengakuannya. Tapi aku tidak ingat yang kamu bicarakan tentang saat kita kecil. Maaf ya. Dan sekali lagi, maaf juga, aku tidak bisa menerima cintamu. Karena aku ada orang yang kusuka. "
Kemudian dia pergi. Meninggalkan aku yang masih mencoba memutar kembali kata per kata yang baru saja dia lontarkan. Kupandangi Naoki hingga dia berbelok menuju ke lorong arah kelasnya. Aku hanya bisa duduk dan masih di belakang perpustakaan. Menunggu sepi agar aku setidaknya bisa pulang dengan tidak ada orang yang mengetahui bahwa aku menangis.
Hampir satu jam aku hanya duduk termenung, dan kuputuskan untuk pulang. Kulewati toilet di belakang mushola, dan tanpa sengaja kudengar suara Kayla serta beberapa kawannya tertawa. Dan kudengar hal yang membuat jantungku hampir copot.
" Yaampun, aku ga percaya banget akhirnya si jelek Emi berani juga nembak Naoki. " Suara Kayla yang sangat aku hafal, dan perkataan ini sungguh menikam jantungku saat itu juga. Aku hanya mampu bersembunyi di balik dinding untuk diam-diam mendengarkan.
" Setelah dia rebut Satria dari kamu, dia mau coba-coba rebut Naoki dari kamu, La. Kecentilan banget. Ga ngaca apa muka culun kayak gitu. " Aku yakin ini adalah suara Rana, teman satu genk Kayla.
" Ga akan kubiarkan dia merebut Naoki dariku. Lagipula, Naoki juga benci banget sama dia. Sok pintar kata dia. Lo harus tau donk Ran mukanya pas praktikum biologi." Kayla kembali menertawakanku, disusul perkataannya yang membuatku segera pergi dari situ. " Si Emi ngasih ubi bakar dan surat donk ke Naoki. Dibuang di tempat sampah hahahaha. Takut lah kalo dipelet. Ya ampun, dasar murahan"
Aku tak sanggup lagi mendengarkan pembicaraan itu. Aku segera berlari ke arah tempat parkir sepeda dan segera mengayuh sepedaku cepat-cepat. Aku ingin pulang. Aku ingin menangis. Aku tidak mau bertemu dengan siapapun.
Entah ini autumn ke berapa. Ternyata sudah banyak autumn yang kulalui. |
EmoticonEmoticon