Saat saya pulang ke Indonesia beberapa minggu lalu, saya sempat merenungi hidup setelah makan kue sus.
Seriously. Saya benar2 merenung ketika memakan kue sus.
Adalah kue sus langganan dan kesukaan saya dari jaman saya SD. Buatannya mbak yah, tukang kue langganan keluarga saya. Kue susnya sangat sederhana, dengan ukuran yang tidak terlalu besar deperti yang banyak kita temukan di toko2 kue di mol, dengan krim sus yang juga biasa saja tidak penuh dengan komposisi kuning telur atau rasa custard yang menjadi kesukaan saya, dan dengan tekstur roti yang juga biasa saja, tidak seperti roti2 buatan BreadTalk dan sebagainya.
Namun, justru itulah yang menjadi perenungan saya.
Memori saya kemudian kembali ke jaman mulai dari sekitar 20 tahun yang lalu, saat dimana saya senang sekali memakan kue sus ini. Setiap kali mbak yah lewat tiap hari minggu pagi, saya selalu menanyakan nya. Sampai sekarang pun, ibu masih tahu benar kesukaan saya terhadap kue sus. Dan ketika ibu membelikannya, saya memakannya satu.
Satu gigitan, pas di bagian atas, dengan banyak krim sus saya makan. Saya tertegun.
Seberapa lama kah saya tidak memakan kue sus ini?
Saya tahu, ini adalah kue sus yang bertahun2 saya sering makan. pastinya dengan pembuat yang masih sama. Dengan rupa dan ukuran yang sama, serta komposisi yang sama, dan tekstur yang sama. Namun, mengapa rasanya berbeda. Menjadi tidak seenak dulu? Padahal, pastilah, takaran bahan2nya sama.
Saya memakan kue sus ini sambil berpikir keras. Apa yang menyebabkan kue favorit ini menjadi tidak terasa seenak dulu?
Rupanya, bukan kue ini yang salah. Bukan komposisinya yang berbeda. Namun saya yang menjadi berbeda.
Terbiasa dengan hidup seperti sekarang, dengan makanan yang enak2 yang mudah saja saya beli di toko2 kepunyaan jutawan, yang berbisnis mencari keuntungan untuk liburan. Sedangkan dulu, saya makan roti yang beli dari orang2 seperti mbak yah, yang menjual kue mencari keuntungan yang tidak seberapa hanya untuk sekedar hidup. Jangankan liburan, bisa cukup untuk bayar uang sekolah anak sebulan saja sudah bersyukur banget.
Rupanya aku sudah mulai lupa akan esensi dari sebuah rasa makanan. Memang, semenjak saya besar di luar rumah, ketika memakan sesuatu yang terasa tidak enak, saya memilih untuk meninggalkannya, atau membuangnya. Namun, sekarang saya sadar. Esensi dari makanan adalah tentang kerja keras pembuatnya. Sang chef, se-amatir apapun dia, pastilah sudah bekerja keras untuk menghidangkan sesuatu. Maka, kita sewajarnya jika menghargai usaha mereka dengan memakan habis apa yang telah kita pesan. Bukan, bukan tentang uang yang telah kita keluarkan. Namun, tentang kerja keras. Coba bayangkan kita yang nggak bisa masak ini tiba2 disuruh masak cordon bleu oleh calon mertua. Pastilah kita ingin dibilang masakan kita enak, bukan? Meskipun kita tau rasanya pasti ewwww.
Kembali ke kue sus saya, saya jadi rindu dengan masa kecil saya. Kue sus yang seperti itu saja sudah terasa sangat lezat bagi saya saat itu. Dan saya membayangkan usaha keras mbak yah untuk tetap bertahan mebuat kue sus ini ditengah2 serbuan kue2 produk franchise impor. Dan saya menghabiskan sisa kue sus itu dengan air mata yang menetes perlahan.
Home
#NgenesElegan
Daily Life
ga penting
Inspirasi
Renungan dari sebuah Kue Sus: Enak dan Enak Sekali
Saturday, January 9, 2016
Renungan dari sebuah Kue Sus: Enak dan Enak Sekali
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon