Hai halo selamat datang kembali untuk saya yang sudah sekian lama tidak menulis. Di penghujung tahun ini, saya ingin menulis tentang kegelisahan saya akhir-akhir ini. Baru saja 10 hari saya pulang ke rumah, dan akan kembali terbang ke negara matahari terbit untuk mengejar mas2 eh maksudnya mengejar matahari. Kegundahan saya terusik karena toko2 semacam alfamart dan indomart. Disclaimer: saya tidak suka menyensor, biarlah orang tahu, saya dituntut undang2 juga nggak apa2, toh undang2 dibuat untuk dilanggar, kan?
Di atas ini adalah foto sate kambing dan es teh yang diambil oleh kakak saya tercinta. Harga sate dan es teh itu sekitar 25 ribu rupiah, atau sekitar 250 yen saja. Mahal? Murah? Saya bilang dua2nya.
Adalah dua sisi mata uang yang sekarang bercengkerama di dalam otak saya yang kecil ini. Sebagai orang yang sudah menetap di Jepang untuk waktu yang masih singkat, harga sate ini sangat murah. Bayangkan kalau saya beli satu porsi yakitori (sejenis sate) di warung bir langganan teman2, satu tusuk itu 180 yen loh (anggap saja 18 ribu rupiah), belum sama nasi. Ini di foto ada 6 tusuk, angap saja 6 X 180 yen itu sekitar 1080 yen. Terus kalo beli nasi semangkok ukuran mini size (secentong) harga 66 yen berarti total seporsi 1146 yen. Es teh di jepang gratis kalo di restoran. 1146 yen dikonversi ke rupiah anggap saja jadi 114600 ribu rupiah. Jadi naik 4 kali lipatnya kan? Murah sekali.
Di sisi lain, sebagai anak indonesia asli yang merasakan jaman imbas imbis, harga seporsi 25 ribu itu termasuk mahal. Saya masih ingat jaman krisis moneter dulu, beli sate 25 ribu itu sudah dapat 20 tusuk dan 2 lontong. Mahal banget sekarang. Terus salah siapa? Ya kalo kata pendukung Prabowo dan Erdogan, ya salah Jokowi. Tapi kalo kata saya? Ya ini salah kita semua.
Iya, kita itu punya andil besar terhadap kenaikan harga. Bukan pedagang, apalagi presiden semata.
Ya sudahlah, urusan ekonomi saya nggak tahu, mungkin teman saya mas Dhafi bisa menjelaskan secara detail kenaikan harga2 itu bagaimana. Tapi, saya ingin sedikit mengungkapkan apa yang saya lihat dan saya rasakan fenomena kenaikan harga menurut kacamata seorang pengangguran amatiran ini.
Perubahan harga BBM memicu kenaikan harga barang di pasaran. BBM belum naik, harga sudah naik. BBM turun, harga nggak ikut turun. Al hasil harga semakin melambung. Banyaknya toko2 berakhiran mart pun mau tidak mau mmebuat persaingan pasar semakin sengit. Betapa tidak?? Kemudahan yang ditawarkan toko2 mart membuat warung2 rumahan menjadi sepi pelanggan. Toko2 mart yang kecil, tersebar layaknya jamur parasit, bersebelahan dengan warung2 rakyat yang mereka jualan untuk makan. Hasilnya, warung2 menaikkan harga sedikit untuk keuntungan, ya karena mereka butuh uang untuk makan. Dan konsumen seperti kita pasti lari ke toko2 mart karena lebih murah. Ya, salah kita. COba kita konsisten beli di warung, pasti warung juga nggak akan menaikkan harga kan? Kita baru pergi ke warung kalo pas tanggung bulan, buat ngebon. Karena di warunglah kita bisa ngebon, semacam habis manis sepah dibuang.
Toko2 mart yang besar pun menawarkan kemudahan, hanya satu tempat, semua barang ada, harga pas tanpa nawar. Akhirnya konsumen seperti kita lebih seneng mampir di toko mart, sekalian mejeng ke mol nyari gebetan. Hasilnya, pasar semakin sepi pembeli. Padahal di pasar itu barangnya segar, hasil bumi Indonesia asli. Cuma nawar dikit kan nggak apa2. Toh orang2 pasar juga butuh makan. Kalo toko2 mart kan kepunyaan satu grup perusahaan. Yang punya udah kaya banget loh. Tapi ya, kita mah gengsi.
Teman2, sadar nggak sih? Kalo buah2 dan sayur yang dijual di toko2 mart itu impor? Sampe cimplukan yang biasa kita temui di pekarangan itu diimpor loh. Dan sebenarnya buah2 dan sayur2 di toko2 mart itu kan nggak segar. Tapi kenapa masih mau pada beli disitu sih? Demi gengsi?
Nah yang begini ini yang bikin harga2 jadi mahal. Lho buah dan sayur dalam negeri jadi sepi peminat. Padahal kalo pas panen itu melimpah ruah, Tapi produknya nggak sampe ke toko2 mart. Sampai pun yang ijo2 nggak mateng karena belinya pas belum matang, jadi biar dapat murah. Dan orang Indonesia kan masih gengsi dengan label cap luar negeri. Padahal kualitasnya jauh lebih rendah dari dalam negeri.
Tadi pagi saya baca postingan salah satu anak alay, katanya pemerintah nggak mendukung petani. Lho dek, pemerintah yang mana? Kalau adek mau mebaca kitab suci undang2 agraria, pasti adek akan tahu kalau kebijakan pemerintah itu sebenarnya ya mendukung petani. Wong Indonesia itu negara agraris. Tapi, kenapa petani kita malah nelangsa? Ya itu gara2 tingkahmu dan teman2mu yang sering gengsian itu. Makan di restoran, kalo makan di angkringan nggak mau. Minum kopi di Starbuck, kalo di warung kopi lokal nggak elit. Belanja ya di mart2, nggak mau ke pasar2 karena takut bau bawang ya? Ya itulah tindakan kita, orang Indonesia yang tanpa sadar menciptakan lingkungan mahal dengan sendirinya.
Pada akhirnya, Indonesia memang menjadi surga bagi para wisatawan asing. Namun neraka bagi penduduknya sendiri. Saya masih takjub sekali melihat harga susu bendera kotak siap minum seharga 5800 di alfa mart. Dan masih takjub dengan anak2 alay yang sok2an bicara mengenai topik berat masalah politik sosial ekonomi negara, tapi sendirinya tak pernah mendukung gerakan ekonomi rakyat. Ya..mendukung sih, rakyat golongan kaya semacam CT, TW, Bakrie dan sebagainya.
Ah...sudahlah. Kalau mau berubah, ya harus dari diri sendiri dulu. Kata ibuk, biar jadi contoh untuk orang2 di sekitar dulu. Sudah ah, tak siap2 ke pasar, latian tawar menawar, sapa tau penjualnya luluh terus kasih gratisan heuheu
Monday, December 28, 2015
Renungan Akhir Tahun: Indonesia, antara Surga dan Neraka
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments so far
Enter your comment...
EmoticonEmoticon