Jika ada wanita yang membuatku menangis selain ibu dan nenekku, maka itu adalah dia.
Aku bertemu dengannya untuk pertama kalinya di sebuah klub internasional. Dia datang dengan gayanya yang sederhana, mengenakan baju yang jauh dari kesan glamour atau pun gaul. Tapi satu yang berkesan darinya, yaitu matanya. Matanya malam itu terlihat bersinar elegan tanpa polesan make up sedikit pun.
Rupanya dia adalah anggota lama klub yang sempat vakum beberapa lama, kala itu pertama kalinya dia datang setelah vakum. Semua orang menyapanya sangat ramah dan mengakatan mereka merindukannya ada di tengah2 klub. Aku memperhatikan senyum dan gaya bicaranya, dan juga sekali lagi matanya. Bola matanya nampak membesar, seolah mengatakan bahwa "aku senang sekali". Meski terlihat berbicara bahasa inggris dengan sedikit terbata dan gugup, dia nampak sangat bahagia malam itu.
Seseorang datang menyapanya dan memberi pelukan hangat, lalu mereka terlibat perbincangan sangat lama. Aku memperhatikan gesture tubuhnya, terlihat sangat nyaman. Dari segi penampilan, tak ada yang istimewa dari dia. Dia tidak tinggi, tidak pula berkulit putih. Biasa saja. Namun entah mengapa, matanya sangat mempesonaku malam ini.
Temanku, Salvia, menepuk pundakku, tahu bahwa pandanganku tak bisa lepas dari wanita itu.
" Hati2 dengan dia. Aku dengar dia sering merayu banyak laki2 untuk kesenangannya. "
Aku tak menyangka bahwa Salvia akan berkata begitu. Lebih mengejutkan lagi saat Salvia mengatakan bahwa tak seorang pun menyukainya. Karena yang nampak dimataku adalah semua orang berbicara dengannya dalam suasana yang sangat hangat.
" Tidak, dia bukan tipe ku. " Aku mencoba menetralisir rasa terkejutku sekaligus penasaran tentangnya.
" Baguslah. " Jawab Salvia singkat sambil berjalan ke arah meja dan mengambil wine.
Pandanganku tak bisa aku lepaskan darinya malam ini. Aku memperhatikan setiap detail yang dia lakukan. Bahkan memperhatikan cara dia memilih makan dengan menghindari daging babi, ataupun menolak ketika ditawari alkohol dan memilih jus jeruk untuk gelasnya. Aku memperhatikan cara dia menyapa teman2nya dan bagaimana dia larut dalam perbincangan. Matanya, seolah berbicara bahwa " aku menikmati malam ini ". Dia adalah bintang malam ini di mataku.
" Kamu mengenal dia? " Tanyaku pada Salvia saat pesta telah usai.
" Tidak. " Jawabnya singkat.
" So? "
" So? Dia memang cukup populer di klub itu dan kalangan orang2 asing. Dia termasuk former people di klub tersebut. "
" Jadi kamu hanya mendengar berita tentang dia? "
" Berita tentang apa? "
"Tentang yang kamu katakan padaku saat pesta tadi, tentang dia yang suka merayu, "
" Seseorang mengatakan padaku ketika aku bertanya tentang dia. Karena aku sering melihatnya hampir di setiap acara bertaraf internasional. Namun tak pernah aku melihatnya pada acara yang melibatkan kelompoknya. "
" Siapa yang mengatakan itu? "
" Sony, salah satu dari kelompoknya. "
" Aku pikir kamu benar2 telah mengenalnya setahun ini. Rupanya hanya karena Sony yang mengatakan seperti itu. "
" Tapi itu kan valid, orang yang satu negara dengannya yang mengatakannya. "
" Aku mengenal Sony, dan aku tak pernah melihat dia ada dalam acara selain bersama genk-nya saja. "
" I don't know... Kenapa pula aku harus menaruh perhatian tentang dia? "
" Salvia, dengarkan aku. Tak bijak rasanya jika kamu menilai seseorang hanya berdasarkan penilaian dan anggapan orang laintanpa kamu mengenalnya sekalipun. "
" Kamu menyukainya? "
Aku tak menjawab pertanyaan Salvia. Aku hanya memberinya senyum dan mengucapkan selamat malam sebelum aku melangkah ke rumahku. Terlalu cepat bagiku saat itu untuk menyimpulkan apakah aku menyukainya atau hanya hari itu saja karena dia menjadi bintang di mataku. Karena aku tak pernah percaya ada cinta pada pandangan pertama. Namun bagiku, aku hanya ingin mengenalnya lebih dekat.
Thursday, January 1, 2015
Summer for the Misanthrope Love (1)
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon