Aku menatap kaca di depan ku, kemudian ku lepas kacamataku. Sejenak kulirik lagi satu2nya benda kenangan dari Naoki sebelum ku tutup laci mejaku. Aku tak berani untuk menanyakannya pada Naoki. Tidak dengan penampilanku yang kucel seperti ini. Bagiku saat ini, menatapnya dari jauh dan melihat senyumnya sudah cukup membuat aku semangat. Mungkin suatu saat nanti, aku pasti akan punya kesempatan untuk sekedar menanyakan apakah dia mengingatnya atau tidak. Tapi saat ini, aku hanya belum berani.
Aku bergegas mengganti baju dan menyiapkan makan malam untuk bapak dan ibu. Sejenak kupandangi rumahku. Ah, suatu saat aku akan bisa memperbaikinya kelak. Samar terdengar suara langkah kaki dan sepeda. Bapak dan ibu rupanya sudah pulang. Aku bukakan pintu rumah dan meneruskan kembali memasak.
Bapak memanggilku untuk duduk di meja ruang tamu kami yang kecil. Di depan meja ada sebuah surat.
" Bacalah" kata bapak sambil menyalakan sebatang rokok kretek. Raut muka bapak tersirat sedih dan berpikir akan sesuatu. Aku membacanya perlahan. Surat dari kakak rupanya. Untuk sekian lama tidak pernah menanyakan kabar sedikit pun, tiba2 dia berkirim surat dengan mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Permintaan maaf dan cerita yang panjang hingga 6 lembar kertas dia tuliskan. Di bagian akhir, dia tuliskan untuk mengajakku tinggal di Jakarta. Dia bilang akan membiayaiku kuliah.
Aku menutup suratnya dan melipatnya.
" Kakakmu ingin kamu kuliah di jakarta. Kamu gimana? " suara ibu yang halus membuatku terhenyak.
Aku pun hanya terdiam. Sejujurnya aku tak ingin pergi ke jakarta. Aku ingin tinggal disini untuk merawat ayah dan ibu. Karena aku tau persis, bagi mereka sekarang hanya aku lah yang mereka punya.
" Rina itu kurang ajar. " Kata bapak tiba2, " sudah pergi hidup enak di jakarta, Udin meninggal juga tidak pulang. Bertanya saja tidak, sekarang tiba2 minta Emi tinggal disana. Dia tidak mikir perasaan bapak dan ibu. Mentang2 sekarang sudah kaya, punya uang banyak, seenaknya saja ngatur"
Aku dan ibu hanya terdiam.
" tapi kalau Emi nya mau, ya kita gak bisa melarang to pak" kata ibu berusaha menenangkan bapak dengan memijit bahunya.
Bapak kembali menghisap rokoknya dan membuang abu ke asbak.
" di Jakarta kamu enak Emi, gak usah susah ke sawah. Nanti kulitmu putih. " kata bapak dengan tertawa datar, aku tau dia sedang mencoba menghibur dirinya sendiri dan mencairkan sesuatu.
Aku hanya bisa memandang foto ku bersama kakak dan adikku. Pandanganku kualihkan ke kertas surat kakak dan lembar wesel yan g dikirim serta. Aku menarik naffas panjang sebelum akhirnya berkata,
" Bapak, Ibu, Emi sekarang mau fokus sekolah dulu. Nanti kalau sudah kelas 3, Emi akan bicara lagi mau kemana nanti."
" Ya sudah, belajar yang baik nak. Cuma kamu satu2nya yang bisa bapak bicarakan di sawah sama petani2 lain"Kata bapak beranjak dari kursi dan mematikan rokoknya yang sudah habis.
" Bu, air panas sudah siap? Bapak mau mandi "
" Iya pak, tinggal dituang aja" kata ibu kemudian mendekatiku dan tiba2 memelukku.
Aku tersenyum getir dan ikut memeluk ibu. Aku mencoba mengerti perasaan mereka. Dan hal ini semakin membuatku untuk bisa membawa senyum bahagia mereka yang telah lama hilang.
Ibu kemudian ke dapur membereskan sisa2 memasak tadi. Aku keluar rumah sebentar untuk memandangi langit malam yang tertutup awan. Tak terlihat bintang malam ini. Bulan pun samar tertutup awan. Perasaanku saat ini campur aduk. Orang tua ku pun pasti begitu.
Friday, December 5, 2014
I fall in the Autumn (6)
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon