Aku selalu menyukai desiran angin yang berpadu dengan terik sinar matahari pagi. Seperti pagi ini, pagi yang bergitu cerah, udara dingin seakan tak begitu terasa. Angin berhembus pelan menerpa wajahku dan menghalau rambut yang sudah ku sisir rapi. Aku menyibak poniku yang tertiup angin, ku tengok ke arah kiri, dia. Aku melihatnya.
Disana ada seorang laki2 tampan yang begitu mempesona. Asyik berlari dan tenggelam dalam tawa ketika berusaha menembakkan bola basket ke dalam keranjang. Di tepi lapangan, para gadis berteriak menyerukan namanya. "Satriaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa" dan disambung dengan jeritan dan tawa yang membahagiakan. Dia Satria, laki2 yang sangat disanjung oleh banyak orang. Gadis2 menyukainya seolah mereka berebut mencari perhatiannya. Dia kapten tim basket, wakil ketua OSIS dan Ketua dewan ambalan pramuka. Bukan cuma itu, dia juga anggota mading dan PMR. Wajahnya yang ganteng membuat orang terpesona. Tingkah lakunya yang sopan, dan cara bicaranya yang lembut membuatnya seakan tak henti2nya dipuja. Belum lagi, kepiawaiannya dalam bermain bass dan menyanyi, membuat pentas seni begitu ramai dengan teriakan para gadis. Bukan cuma para gadis, para laki2 pun juga menyukai kepribadiannya.
Tapi, bukan dia yang aku maksudkan. Tapi di tepi sebelah sana. Tepat di sebelah tas Satria. Dia, selalu disana menunggu teman2nya bermain basket. Lengkap dengan buku novel berat kesukaannya. Dia sangat cool, dengan kaca mata frame tebal yang membuatnya tampak begitu misterius. Aku menyukainya di saat2 seperti ini. Hembusan angin dan teriknya matahari yang menerpa wajahnya, membuatku ingin terus menatapnya.
"Braaaaakkkk"
"Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"
Tanpa kusadari, bola basket menimpa kepalaku. Kacamataku terpental.
" Emi!!! Hehe maaf maaf. Emi...emi...kamu ga apa2??"
Aku membuka mataku. Satria berdiri di depanku dengan mimik wajah khawatir. Aku bangkit dan bingung tak tahu apa yang terjadi.
" Gapapa, sakit kepalaku "
" Ah kamu, jalan sambil ngelamu sih. Ke UKS ya "
" enggak2 gapapa, makasih. Mau ke kelas aja, jam pertama ulangan Fisika sat. "
Aku melihat dia berdiri dari tempatnya duduk. Kami berpandangan, dan dia melempar senyum kecilnya, Aku merasa wajahku panas. Mungkin sudah memerah. Satria menengok ke belakang, Mungkin dia tau apa yang terjadi padaku.
" Yah mulai lagi deh..." katanya pasrah.
" Sat aku malu..."
" Kamu malu2in haha, sini aku anterin " kata Satria penuh keyakinan dan disambut teriakan sirik para gadis
Aku sudah menduga setelah dia bilang seperti itu, aku memutuskan untuk jalan sendiri. Kelasku dekat dengan lapangan basket, hanya perlu melintas ke sisi sebelah. Dan aku mau tidak mau harus melintas juga di depannya. Aku hanya bisa menunduk malu. Ku dengar dia bicara lirih ketika aku tepat melintas di depannya,
" Besok lagi hati2 ya... "
Aku meliriknya sejenak dan tersenyum. Ah...hatiku berdebar kencang. Cepat2 aku masuk ke kelas. Wajahku panas. Pasti sudah memerah seperti sambal. Ku buka buku Fisika dan pura2 membacanya, tapi pikiranku tertuju pada senyumnya yang tak mau pergi dari pelupuk mata.
Namanya Naoki. Tinggi, putih, seperti orang jepang. Ya, ibunya memang orang jepang. Ayahnya jawa. Dia mewarisi kulit ibunya. Dia memang tidak seterkenal satria, tapi aku suka. Malah tidak banyak saingan. Ah...tapi aku selalu tak percaya diri. Siapa yang mau melirikku? Aku hanya gadis kebanyakan. Dari status sosial aku termasuk yang rendah, aku hanyalah anak guru sekolah dasar. Penampilanku kucel dan tidak cantik sama sekali. Tasku hanya tas jahitan tangan waktu tugas SMP kelas 2, sudah 3 tahun ini aku pakai. Kulitku hitam karena hampir setiap hari pergi ke sawah sepulang sekolah membantu ibuku merawat sawah kami yang hanya sepetak. Seragamku pun kumal. Kadang bau arang karena setrika di rumah adalah seterika arang.
" emi, bisa ajari aku bagian ini? aku tidak paham "
Teguran Kyla membuatku tersadar. " Ah iya, yang mana?? ". Aku pun membantu Kyla memahami bagian yang kebetulan aku sudah menguasainya.
Kyla, kadang aku iri dengannya. Dia begitu cantik dan tinggi, anak orang kaya, dan sangat ramah. Dia menyukai Satria sejak SMP. Mereka satu SMP. Satria memang sudah terkenal sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kyla sedikit aneh. Anak perempuan high class seperti dia biasanya jarang mau berdekatan denganku kalau tidak terpaksa mendapat tugas kelompok. Tapi, Kyla memang ramah.
Bel berbunyi. Aku menyudahi percakapan dengan Kyla. Kyla berterima kasih padaku dan kembali ke tempat duduknya. Aku menutup buku Fisikaku, dan mengambil kotak pensil bergambar ikan cupang. Sesaat kemudian Guru datang, dan kami memulai ulangan Fisika dengan suasana yang tenang. Sesaat sebelumnya, kulirik ke arah jendela. Kulihat dia berjalan melintasi depan kelasku bersama dengan pengurus OSIS lainnya.
EmoticonEmoticon